Jumat, 11 Desember 2009

Prita & Hukum Negeri Abunawas

Djoko Suud Sukahar - detikNews

Jakarta - Gegap gempita perayaan antikorupsi membuat hati sukacita. Tanda masih banyak yang peduli dengan kebaikan negeri. Kebaikan tulus yang kadang menegasikan kebaikan formal dan legal. Solidaritas rakyat terhadap nasib Prita Mulyasari adalah ekspresi itu. Benarkah ini kebangkitan wong cilik yang selalu terkalahkan?
Suasana perayaan hari antikorupsi sedunia semarak. Tiap daerah negeri ini melakukan itu. Tidak peduli ada yang anarkhis bernostalgia sukses ‘people power’ di masa Orde Baru, serta di sana-sini terjadi bentrok dengan polisi. Tapi memang begitulah ekspresi ‘Negeri Abunawas’.
Negeri ini memang ‘negeri bim salabim’. Epidemi korupsi yang menjalar dari Rukun Tetangga (RT) sampai istana hanya dalam hitungan detik berubah menjadi musuh bersama. Yang menggelikan, para ‘koruptor’ pun tiba-tiba ikut berteriak antikorupsi. Korupsi itu seperti sesuatu yang tidak pernah ada di negeri ini dan tidak pernah dilakukan berjamaah.
Menggempitanya yel-yel demo antikorupsi menstimulasi berbagai perkara wong cilik. Kasus Prita yang ‘dinista’ Rumah Sakit (RS) Omni membentuk bola salju. Ibu yang ‘tidak paham’ hukum-hukum baru yang terus diciptakan itu membuatnya masuk bui. ‘Pemaksaan’ hukum agar dia meninggalkan balitanya yang masih menyusu melahirkan simpati. Derita ibu itu jadi simbol wong cilik yang teraniaya dan terlunta-lunta.
Kini perkara yang tidak kunjung selesai itu mengundang euphoria. Koin uang receh sebagai bentuk solidaritas terhadapnya terkumpul satu truk. Itu belum yang tertahan di beberapa daerah, dan terus mengalir di komunitas marjinal.
Solidaritas ini punya makna besar sekaligus bahaya besar. Itu sinyal rakyat tidak percaya lagi terhadap hukum dan penegaknya. Hukum bisa dibeli dan penegak gampang disogok bukan rahasia lagi. Ini membuat rakyat imun dan alergi.
Ketidakpercayaan terhadap aparat dan perangkatnya itu menggugah trauma masa lalu. Batin sebagai ‘bangsa terjajah’ menyembul. Penguasa dan orang kaya dianggap ‘penjajah’. Sedang yang tidak punya kuasa, lemah dan miskin dianggap saudara yang wajib dibela.
Dalam kasus Prita versus RS Omni, rumah sakit itu diidentifikasi sebagai ‘penjajah’. Memberi servis kurang baik dan memperkarakan Prita tatkala keluhan itu disampaikan pada teman lewat surat elektronik. Dan Prita harus mendekam di sel, meninggalkan balitanya di rumah.
Tindakan di luar kemanusiaan itu memilah yang berseteru sebagai ‘penjajah’ dan ‘terjajah’. Pihak Omni dirasakan sebagai ‘penguasa’ dengan kuasa dan kekayaannya ‘menjajah’ kemerdekaan Prita juga balita menyusu. Dan kian kental ketika pidana dimenangkan Omni diteruskan kasus perdata mendenda Prita dengan denda besar. Kebenaran dan kemenangan hukum Omni tidak bisa dibenarkan rakyat. Itu dianggap ‘menyakiti’ keadilan. Ini yang menarik gelombang hebat ‘pro Prita dan anti Omni’.
Kasus ini harus diwaspadai. Dalam banyak perkara yang ‘nyangkut’ dan tersimpan di hati rakyat ibarat ‘nyeret carang soko pucuk’. Menarik ranting bambu dari ujung. Tidak hanya sulit, tetapi berisiko besar. Kasus hukum itu punya kans melebar ke mana-mana. Terbuka sensitifikasi suku, agama, dan ras (Sara), termasuk perbedaan kaya dan miskin.
Pihak Omni harus peka dan berusaha rendah hati. Sikap yang mengesankan merasa benar di mata hukum bukan jaminan kasus ini selesai. Bahaya justru sedang tertuju padanya. Kalau itu terjadi, tidak ada yang mampu memprediksi dampaknya. Sebab emosi massa itu momok. Momok yang bisa melawan siapa saja dan melahap apa saja.
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
http://www.detiknews.com/read/2009/12/11/133039/1258496/103/prita-hukum-negeri-abunawas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar